Monday, November 5, 2018

Cumlaude


Ada cerita lucu saat saya berhasil wisuda strata satu (S1) di IAIN Metro. Saat itu mamak hadir pada acara wisuda yang digelar di halaman kampus 1 IAIN Metro, Selasa, 6 Maret 2018. 

Mamak ditemani calon mantu (sekarang sah jadi mantu)  karena undangan hanya 2 orang. Bapak waktu itu tidak bisa hadir diacara wisuda karena sedang ada urusan. 

Menurut keterangan mamak, beliau mendengarkan dengan seksama dan sabar menunggu nama Lukman Hakim disebut oleh pembaca acara. Memang ada beberapa nama Lukman Hakim yang waktu itu wisuda bersama saya. Ketika nama saya disebutkan, hati mamak ser-seran terlebih memang benar jika itu adalah saya. 

"Lukman Hakim, cumlaude." Begitulah yang mamak dengar. Hati mamak terasa remuk dan meneteskan air mata mendengar saya mendapatkan predikat cumlaude. Bukan apa-apa, usut punya usut ternyata mamak mendengar mahasiswa lain mendapatkan predikat memuaskan dan sangat memuaskan. Mamak kira predikat cumlaude merupakan predikat terburuk.

Setelah itu mamak ngomong kepada istri saya (dulu masih calon) kenapa saya mendapatkan nilai cumlaude. Setelah dijelaskan bahwa nilai cumlaude merupakan nilai diatas memuaskan dan sangat memuaskan mamak tersenyum semringah. 

Setelah selesai prosesi wisuda, anggota keluarga kami yang hadir mendengarkan cerita soal predikat cumlaude tersebut. Kami ya tertawa kemekel mendengar cerita mamak. Tapi begitulah orang tua. Dia hanya berharap anak-anaknya mendapatkan nilai dan apa-apa yang terbaik untuk hidupnya. 

Saya pernah merasa berat menyelesaikan skripsi, bukan karena saya tak mampu tapi karena malas yang membara. Mamaklah yang kemudian cerewet menanyakan kapan saya akan lulus, bertanya dan selalu bertanya. Saya pernah mundur wisuda satu periode karena tak 'nafsu' mengerjakan skripsi.  Karena dorongan mamak dan calon istri akhirnya saya mau menyelesaikan skripsi.

Ada ancaman mengerikan yang saya terima kalau saya tak lulus. "Yaudah, kita nggak usah nikah aja kalau kakak nggak mau ngerjain skripsi," ujar calon istri saya suatu ketika.

"Waduh, gaswat." pikir saya. Akhirnya saya pun selesai dengan mempertahankan nilai cumlaude seperti waktu D3. 

Mempertahankan cumlaude bagi saya merupakan tanggung jawab moral terhadap orang tua. Memang tak ada jaminan predikat cumlaude untuk kecemerlangan masa depan seseorang. Tapi apakah nilai dibawah cumlaude bisa menjamin masa depan? Plis jawab sendiri.

Semasa melanjutkan strata satu reputasi saya sudah terbangun di kampus. Oleh karenanya walaupun saya jarang masuk kelas saya tetap bisa mendapatkan nilai minimal B. He-he. 

Mohon ini tidak ditiru. Saya meyakini bahwa yang saya lakukan salah karena tidak masuk kelas, tidak ikut kegiatan belajar mengajar. Tentu saja semua orang harus menjalani proses dengan baik dan rapi. Jangan melakukan akselerasi jika tak mampu. 

Saya menutup kekurangan saya tidak hadir dikelas dengan banyak menulis di media. Alhasil tetap ada nilai plus yang saya dapat. 

Sebagai pamungkas saya berpesan raihlah nilai cumlaude setinggi-tingginya sebagai hadiah untuk orang tua. Tapi jangan lupa berproses untuk menyiapkan masa depan dengan skill dan hobimu. Udah,  itu saja. 


Putra Rumbia, 5 November 2018
Lukman Hakim
Baca selengkapnya

Friday, November 2, 2018

Merenggut Hati dan disayang Mertua #catatannikah


Setelah 22 Oktober 2018 resmi menjadi seorang suami dan menantu, saya memutuskan tinggal bersama mertua. Bukan tanpa alasan hal itu kami (saya dan istri)  lakukan. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi.

Pertama, dulu sebelum saya resmi meminang sang istri tercinta, saya sudah diwanti-wanti pascanikah tidak boleh tinggal di rumah orangtua, ngontrak, atau tinggal di luar kota. Walhasil, pada saat lamaran keinginan ini pun disampaikan calon mertua saya kepada pihak kamu. Saya mengiyakan permintaan tersebut karena untuk merenggut hati calon mertua tercinta. Dengan lapang dada orangtua saya juga harus ikhlas, rida melepaskan saya tinggal bersama mertua nantinya setelah menikah. 

Kedua, alasan usia. Mertua memang sudah setengah sepuh dan istri saya tercinta merupakan anak ragil (baca: anak terakhir). Oleh karena itu, saya ingin menjadi menantu yang berbakti dengan ikut mengurus dan mengasuh mereka. Tapi faktanya terbalik, sayalah yang saat ini diasuh dan diurus oleh mertua. He-he-he. 

Dengan cara saya tinggal bersama mertua, saya bisa bertukar fikiran, membicarakan sawah, ladang, dan beberapa hal tentang masa depan. Tentu hal ini bisa merenggut dan meluluhkan hati mertua,  buktinya saya menjadi menantu yang paling disayang di rumah. Ya iyalah, wong di rumah cuma ada saya sendiri kok menantunya. Ha-ha-ha

Walaupun saya sudah lulus sekolah (tentu punya gelar sarjana dong)-- bukan pamer ya, saya tidak ingin santai dan leha-leha melihat mertua yang sedang bekerja di kebun, pekarangan atau ladang. Saya ikut turun tangan mengerjakan kegiatan pertanian tersebut. Pecok bonggol singkong sampai menanam saya lakukan, juga ikut nderes (menyadap)  getah karet. 

Memang ada beberapa orang yang berkomentar pesimis apakah saya bisa melakukan pekerjaan tersebut. 
"Loh, sampean opo iso nderes,  Mas? "
"Yo iki gor ecak-ecake wae, Mas." jawab saya singkat diteruskan dengan obrolan ngalor-ngidul. 

Ketika saya ikut pecok bonggol singkong, seorang tetangga yang berpapasan akan menanam jagung bilang. 
"Sampean iso opo mas pecok bonggol?"
"Niki ndamel pantes-pantes, Pak. Ecak-ecake mawon."

Mungkin tetangga mengira bahwa kalau seorang lulusan kampus tidak bisa melakukan pekerjaan dibidang pertanian. Saya tentu menampik hal tersebut. Walaupun tidak bisa bekerja profesional sebagai seorang petani, toh saya masih bisa melakukan hal demikian dengan level grotal-gratul.

Sebagai seorang yang lahir dari 'rahim' petani tentu saya harus meneruskan tradisi ini. Tradisi menanam, merawat dan pada akhirnya memanen. Bergelut dibidang pertanian dilatih bersikap sabar, sabar menunggu pertumbuhan tanaman, sabar merawat tanaman, sabar jika hama mewabah dan sabar jika gagal panen. 

Bapak pernah berkata bahwa nandur karo ingon-ingon (menanam dan memelihara ternak)  adalah sesuatu yang menenangkan hati. Keduanya tidak membuat hati kemrungsung. Oleh karenanya, walaupun saya sudah menjadi pegawai pengangguran, saya masih melanjutkan tradisi pertanian. Selain mendapatkan inspirasi baru,  saya ingin punya hati yang tentram dan tentu disayang mertua. 

Begitulah cara merenggut hati mertua dalam versi yang sangat sederhana. Ingat! Semua menantu mempunyai cara yang berbeda untuk merebut hati mertuanya. 

Salam disayang mertua! 

Metro, 2 November 2018

Baca selengkapnya

Friday, October 12, 2018

Guru Honorer



"Kenapa kau tak pernah sarapan, Dul?" tanya Japri kepada Abdul. 
"Kau belum tahu?"
"Tahu apa, Dul?"
"Aku ini mahasiswa honorer. Makan cukup sekali dalam sehari," jawab Abdul tak beranjak dari kasur lusuh hello kitty. 
"Mahasiswa honorer?"
"Tahu kau kalau mahasiswa honorer mirip, bahkan nyaris sama dengan guru honorer. Mahasiswa hononer makan sekali saja dalam satu hari. Sedangkan guru honorer terima upah tiga bulan sekali. Sama-sama ada hitungan tiga dalam satu." 
"Bedalah, Dul." Bantah Japri sambil menghabiskan mie instan ke mulutnya.
"Apa bedanya, Pri?"
"Guru honorer itu mengajar murid dengan dedikasi. Mereka bekerja, Dul. Sedangkan kau!  Mahasiswa honorer yang tak tahu kerja. Tidur saja kau, Dul."
"Ah, kau pun sama, Pri. Kerjanya cuma tidur."
Baca selengkapnya

Saturday, July 28, 2018

Bolidi dan OTT



"Walah, Bupati Lampung Selatan kena OTT, Kang Pardi."

"Kok bisa to bupati kena ote-ote,  Mas Bol?  Jelas dia ini merakyat banget ya, Mas."

"Bukan ote-ote, Kang Pardi, tapi OTT. Operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi atau KPK," jelas Bolidi sangat semangat.

"Loh jadi Bupati Lampung Selatan itu korupsi to,  Mas? Aku kira dia makan ote-ote di warung pinggiran. Makanya aku fikir dia merakyat."

"Iya dia korupsi. Kabarnya terima setoran proyek pembangunan infrastruktur, Kang."

"Berarti Bupati Lampung Selatan memang merakyat banget, Mas Bol. Buktinya dia memikirkan pembangunan infrastruktur."

"Kok bisa sampean bilang merakyat to, Kang Pardi. Jelas-jelas dia nyolong duit rakyat."

"Iya dia merakyat,  Mas Bol. Mikirkan rakyat. Maksudku yang dia fikirkan cuma rakyatnya yang punya proyek itu aja,  Mas Bol. Tapi rakyat kebanyakan jelas dia lali," jawab Kang Pardi sambil terkekeh kecut. 

"Makanya aku iki gak mau diajukan jadi dewan perwakilan rakyat daerah, Kang. Politik itu ya gitu, selip kita gak kuat ya nyebur ikut korupsi. Mending aku jadi dewan perwakilan Bolidi. Ha-ha-ha."

"Yaweslah, Mas Bol. Aku mau lanjut nderes karet," pamit Kang Pardi. 

"Oke, Kang Pardi. Aku juga mau endang-endang sawah."

Bolidi menuju sawahnya yang mulai menghijau. Hijau sawah Bolidi mungkin menggiurkan untuk tikus-tikus sawah--seperti halnya korupsi. 

Putra Rumbia, 28 Juli 2018
Lukman Hakim
Baca selengkapnya

Friday, July 27, 2018

Lanjut Pascasarjana

Saya sedang Ngendai Tanaman Padi

Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan Pak Hasanudin Abdurakhman yang menulis tentang “pascasarjana” diberanda facebooknya yang kemudian dibagikan oleh kolega Pak Nasrudin.
Saya adalah salah satu dari banyak orang yang memilih menyelesaikan pendidikan strata satu di waktu-waktu akhir. Kenapa demikian? Bukan karena saya ingin meniru film india yang tokoh protagonis selalu menjadi pemenang diakhir cerita (film-film India waktu saya SD. Sekira tahun 2000-an).
Soal masa studi saya yang tergolong lama, sebenarnya tidak ada alasan lain selain malas.
Sekolah diploma tiga (D3) saya selesaikan dalam kurun waktu 2 tahun 8 bulan dengan program studi perbankan syaringah (baca: syariah). Saya masuk ke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri  (STAIN) Metro tahun 2011 dan lulus di tahun 2014. Lulus dengan gelar cumlaude tidak membuat saya bangga diri. Di akhir masa studi D3 tersebut, saya sudah bergabung dengan lembaga baitul maal wat tamwil (BMT) di Kota Metro Lampung.
Saya tak bisa bertahan lama dilembaga tersebut. Ada semacam perang batin yang menyiksa saya tentang praktik BMT tersebut. Tentu praktik tersebut berbeda dengan teori yang saya pelajari di buku-buku.  Akhirnya saya resign dan memutuskan menjadi pengangguran sukses.
Tahun 2015, saya tercatat kembali menjadi mahasiswa STAIN Metro Lampung yang alih status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro. Sebagai mahasiswa miskin cum pengangguran, saya merasa keberatan membayar SPP yang kala itu sudah berlaku sistem uang kuliah tunggal (UKT). Saya dibebani Rp.1.100.000 tiap semester, jumlah itu sudah membuat saya puyeng.
Berbekal kemampuan menulis−kelas amatir− yang saya dapat selama menjabat sebagai pengangguran sukses, saya mencoba mencari uang. Tentu banyak pihak yang terlibat mendorong saya belajar dan akhirnya bisa menulis. Bang Oki Hajiansyah Wahab, Bang Rahmatul Ummah, Bang Endri Kalianda, Kak Dharma Setyawan, Udo Z Karzi dan banyak yang lain.
Dari mereka dan komunitaslah saya kemudian mendapatkan kemudahan mengakses pengetahuan secara gratis, egaliter dan asyik.
Pada Maret 2018 lalu, saya resmi menyandang status sebagai sarjana ekonomi. Di bulan januari 2018, saya juga tercatat sebagai pekerja sosial/pendamping sosial program keluarga harapan (PKH) Kecamatan Putra Rumbia−saya lahir dan besar disini.
Sebelum lulus, saya sudah mengatakan kepada orang tua bahwa saya akan melanjutkan pendidikan ke strata dua (S2) apapun caranya. Awalnya orang tua keberatan, tapi pada akhirnya mereka luluh dan mendukung.
Penolakan orang tua bukan tanpa alasan. Tahun ini saya juga akan menikah dengan gadis pilihan saya dan yang mau menerima saya. Ha-ha-ha. Tentu  pilihan itu berat, lebih berat dari rindu Dilan ke Milea karena saya harus berfikir mencari uang lebih besar. Tapi saya bertekad selama ada kemauan selalu ada kesempatan dan jalan untuk melanjutkan sekolah.
Meneruskan pendidikan S2 bukan untuk memanjangkan tali kolor pengangguran yang saya sandang−seperti kata Pak Hasan. Tapi ada alasan lain yang membuat saya ingin bersekolah lagi.
Dengan melanjutkan pascasarjana, saya ingin memperbanyak teman dalam dunia akademik, tentu saya tak mengabaikan yang tidak sekolah. Walaupun hidup di kampung, di era digital seperti  saat ini, saya juga tidak boleh ketinggalan informasi dan isu terbaru tentang dunia pendidikan, politik, ekonomi dan lain-lain.
Saya juga tak ingin seperti yang dikatakan Willibrodus Surendra Broto Rendra atau WS Rendra dalam puisi “Sajak Seonggok Jagung yang tak peka dengan keadaan sekitar walaupun sudah bersekolah tinggi.


Saya mungkin masuk kategori apa yang dikatakan Pak Hasanudin Abdurakhman yang tak bisa bahasa inggris dan bahasa arab. Kemampuan saya dalam dua bahasa tersebut sangat terbatas. Bisa dikatakan ­ak-uk-ak-uk saat berbincang, grotal-gratul dalam membaca teksnya.
Tapi apakah kelemahan itu saya biarkan begitu saja, tentu tidak. Hidup di kampung tidak membuat saya tidak belajar. Saya terus belajar sesuai dengan kemampuan, membgai waktu antara ke ladang, sawah, kerja sebagai pendamping sosial, membaca buku, menulis dan tentu membaca isu terbaru isu sekarang. Seperti operasi tangkap tangan (OTT) KPK kepada Bupati Lampung Selatan dan lain-lain.
Saya yakin jika sekolah pascasarjana diniatkan dalam upaya menuntut ilmu semua akan dimudahkan. Biaya, dukungan kerabat, dukungan calon istri mengalir. Seperti judul sebuah film “Semesta Mendukung”, itulah yang harus kita yakini.

Tabik!
Putra Rumbia, 27 Juli 2018
Sambil Ngopi Setelah Pulang Dari Ladang
Lukman Hakim


Baca selengkapnya

Sunday, July 22, 2018

Mbah Ngadisah dan Genjer

Mbah Ngadisah Disela Memanen Genjer 

Minggu (22 Juli 2018) selepas salat asar saya pergi ke sawah. Melihat tanaman padi yang sudah berumur 46 hari setelah masa tanam. 

Sore itu, saya menghampiri Mbah Ngadisah yang sedang panen genjer. "Sudah lama Mbah nandur genjer?" sapa saya kepadanya. 
"Sudah puluhan tahun, Pak".

Beberapa orang memang memanggil saya "pak" karena status saya sebagai pendamping sosial program keluarga harapan (PKH) di Kampung Rantau Jaya Makmur dan Rantau Jaya Baru. Dan Mbah Ngadisah adalah salah seorang keluarga penerima manfaat (KPM) atau peserta PKH yang ada di Dusun 3 Kampung Rantau Jaya Makmur.

Saya tak berhasil mendapatkan informasi tentang berapa lama Mbah Ngadisah sudah membudidayakan genjer karena beliau sendiri sudah lupa. Obrolan kami pun mengalir begitu saja. 

Satu unting (baca: ikat) genjer biasanya diambil oleh pengecer dengan harga Rp. 1.000.  Menurut pengalaman Mbah Disah, tumbuhan genjer bisa dipanen setiap hari. 

Akhir-akhir ini, Mbah Ngadisah hanya mampu memanen maksimal 50 ikat genjer karena hanya sendiri, suaminya sibuk mengurus sawah dan anak gadisnya telah menikah muda. Sebelum anak gadisnya menikah,  Mbah Ngadisah bisa panen sampai 100 unting genjer setiap hari. 

Budidaya genjer tak serumit membudidayakan tanaman/sayuran lain. Setelah masa tanam, petani hanya perlu memberikan pupuk kandang (tletong) yang dicampur dengan urea untuk merangsang pertumbuhan genjer agar lebih cepat panen. 

Perlakukan pertanian semi organik ini juga untuk mempertahankan kesuburan tanah. Jika tanah yang menjadi media tanam genjer hanya diasupi pupuk kimia maka tanah akan gersang dan kurang subur. Jika tanah hanya diberi kotoran sapi maka pertumbuhan genjer akan lambat tapi perlakuan ini bagus untuk kondisi tanah. 

Karena desakan kebutuhan sehari-hari, ingin panen lebih cepat, akhirnya petani (Mbah Ngadisah) memakai cara semi organik.

Dalam waktu tiga minggu sampai satu bulan setelah masa tanam,  genjer sudah bisa dipanen. Mbah Ngadisah tak pernah kesulitan memasarkan genjer yang telah ia panen karena ada pengecer yang akan mengambil semua panen Mbah Ngadisah. 

Sekitar 100 meter dari sawah genjer Mbah Ngadisah terdapat tanaman genjer yang lebih luas dan terlihat lebih terurus. Menurut keterangan Mbah Ngadisah, sawah itu bisa menghasilkan 500 unting genjer setiap harinya pada masa produktif. Artinya petani genjer mendapatkan Rp. 500 ribu setiap hari. 

Saya yakin masih ada harapan hidup di kampung. Ada dana desa, ada sawah-ladang, ada potensi yang bisa dikembangkan di kampung. Budidaya genjer adalah salah satu contoh bagimana orang kampung bisa bertahan hidup.

Tabik! 

Rantau Jaya Makmur, 22 Juli 2018
Lukman Hakim




Baca selengkapnya